JAKARTA—Kementerian Perindustrian menginginkan agar evaluasi ulang dalam kemitraan ekonomi dengan pihak Jepang juga menyoroti efektivitas fasilitas pembebasan bea masuk untuk industri besi dan baja. Dirjen Basis Industri Manufaktur Kemenperin Harjanto mengatakan produk baja yang ternyata tidak efektif dimasukkan dalam kelompok user specific duty free scheme (USDFS) akan dikeluarkan. “Kami akan evaluasi, melihat kapasitas industri baja nasional. Kalau selama ini sudah produksi, kami mungkin lihat lagi dari segi volume, akan kami kami teruskan atau tidak di USDFS,” tuturnya, di Jakarta, akhir pekan lalu. Kriteria barang dalam USDFS, yaitu produk bersangkutan tidak dipro duksi di dalam negeri. Sekalipun di buat industri domestik jumlahnya ter batas dan spesifikasinya khusus. User dalam fasilitas ini adalah manufacture and steel service center di sektor otomotif dan komponen, elektronik, mesin konstruksi dan alat be rat, serta peralatan energi. Harjanto menilai USDFS perlu ditilik lebih jauh karena tidak semua terpakai secara optimal. USDFS adalah pembebasan bea masuk dari pemerintah untuk sejumlah produk impor dari Jepang. Fasilitas disediakan untuk merangsang perkembangan empat cabang industri di atas. Penetapan tarif bea masuk dalam rangka USDFS diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 96/PMK.011/2008. User dalam hal ini ada lah usaha berbadan hukum di Indonesia yang layak mendapatkan fasilitas USDFS sesuai surat keterangan verifikasi industri. Perindustrian ingin pemanfaatan USDFS kelak lebih banyak terkait dengan aktivitas korporasi yang dipayungi Manufacturing Industry Development Center (MIDEC). Pusat pengembanngan ini meliputi 13 subsektor industri. Pada 2008-2012 impor yang memanfaatkan USDFS to talnya US$2,05 miliar. Tak hanya mendesak dilakukan peninjauan ulang atas pelaksanaan kerja sama ekonomi dengan Jepang, Indonesia juga merasa perlu ingatkan semangat awal kemitraan di antara dua negara. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menilai pemerintah RI perlu mengingatkan Jepang bahwa kesepakatan dagang yang dijalin bukan sekadar perdagangan bebas (FTA). Dua negara ini melakukan per janjian kemitraan ekonomi. FTA hanya fokus meningkatkan liberalisasi perdagangan, sedangkan dalam economic partnership agreement mengenal capacity building. Secara umum perdagangan internasional bertujuan mendorong pertumbuhan, peningkatan kesejahteraan, dan saling partisipasi dalam rantai pasok dunia. SEMANGAT KEMITRAAN Dengan kata lain Indonesia - Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA) menghendaki adanya proses untuk meningkatkan kemampuan dan daya saing industri nasional. Semangat dasar kemitraan ini menghendaki perbaikan perdagangan RI ke Jepang, maupun sebaliknya. Direktur Kerja sama Industri Internasional Wilayah II dan Regional Kemenperin Restu Yuni Widayati menyatakan bagaimanapun IJEPA harus ditinjau ulang secara menyeluruh (general review). Pasalnya penetrasi produk RI ke Jepang tidak menguat meskipun ada kemitraan ini. “Saat kunjungan Mendag ke Jepang, beberapa waktu lalu, ada pembicaraan, katanya Jepang oke [general review] dimulai. Tinggal tunggu waktu,” ungkapnya kepada Bisnis. Kemenperin mencatat sejak 2008 - 2012 impor dari Negeri Sakura tumbuh sekitar 50% per tahun. Tapi penjualan ke negara itu alias ekspor cuma meningkat 6% per tahun. Badan Pusat Statistik mencatat perdagangan nonmigas RI - Jepang defisit US$2,37 miliar pada tahun lalu. Di sisi lain pemanfaatan preferential tariff (berdasarkan surat keterangan asal/SKA) dalam mekanisme IJEPA juga relatif rendah. Pada 2008, SKA yang memanfaatkan IJEPA hanya 15,25% terhadap total ekspor manufaktur nasional. Berurutan pada 2009, 2010, dan 2011, SKA berbasis IJEPA 28,16%, 21,30%, dan 27,63%. Perlu ditelaah ulang secara mendetail dari setiap ayat yang terdapat da lam IJEPA. Apabila general review benar-benar terjadi maka jajaran tim perunding RI harus diperkuat para ahli hukum yang memiliki kapabilitas khu sus di bidang ekonomi. Indonesia harus mengupas detail setiap ayat yang disepakati dalam IJEPA. Apa yang disetujui harus betul-betul bernafas kemitraan ekonomi. Jangan sampai ternyata semata FTA yang dibungkus secara apik menyerupai kerja sama ekonomi. “Yang sangat kami rasakan lemah itu perdagangan barang, kalau jasa belum terlihat. Sejauh ini kami ma sih tunggu info general review dari Kemendag, harus mereka yang memulai, sedangkan kami hanya bisa mengusulkan,” ujar Restu. Dia mengaku sejauh ini Kemenperin belum menyerahkan secara resmi dan tertulis kerangka besar general review IJEPA. Tapi yang pasti Perindustrian menginginkan kemitraan ini dapat menciptakan capacity building bagi industri nasional. Pada masa mendatang Kemenperin menginginkan seluruh investasi Je pang yang masuk ke Tanah Air menggandeng mitra lokal. Hal ini bertujuan untuk memperdalam struktur industri penunjang. Produksi barang juga harus didorong ekspor bukan cuma suplai pasar domestik.